Arsitektur Tradisi Megalitik dalam Kehidupan Masyarakat Sumba
23.52
Arsitektur Tradisi Megalitik dalam Kehidupan
Masyarakat Sumba

Tradisi megalitik adalah salah satu rangkaian
kehidupan prasejarah di Indonesia. Asal kata Megalitik adalah “mega” yang berarti besar dan “lithos” yang berarti
batu. Keadaan ekonomi pada era megalitik sudah membaik. Hal ini dibuktikan
dengan peninggalan tradisi megalitik dalam bentuk monumental yang bervariasi
dan artefak lokal maupun asing (Prijono,
2007). Salah satu bentuk monumental pada
megalitik adalah rumah. Rumah yang mengelilingi bangunan megalit.
Tradisi megalitik muncul pada masa bercocok tanam. Saat sistem
kepercayaan mulai berkembang dan adanya pemujaan terhadap nenek moyang. Mereka menganggap roh orang yang sudah mati
masih tetap ada di sekitar mereka. Oleh karena itu dibangunlah suatu bangunan
untuk menghormati si mati. Suatu bangunan selain dibuat berdasarkan kepercayaan
terhadap leluhur juga sebagai penghargaan
terhadap keberadaan alam. Arsitektur pada era megalitik biasanya
terlihat dalam bentuk bangunan, batu kubur, monumen, maupun lingkungan.
Salah satu bentuk kepercayaan kepada nenek moyang ada dalam
masyarakat Sumba. Ini dibuktikan dengan arsitektur mereka yang merupakan
penjelmaan dari keseluruhan dan kesatuan nilai kehidupan sakral. Secara
simbolik tradisi dan budaya turut mempengaruhi kehidupan mereka. Bentuk
bangunan, batu kubur, monument serta lingkungan merupakan arsitektur
tradisional Sumba.
Dalam tradisi megalitik sering
diadakan upacara, upacara yang paling menonjol adalah upacara pada waktu
penguburan. Di Sumba, kuburan terbuat
dari batu yang sudah dikenal sejak tradisi megalitik. Pada saat penguburan
mayat disimpan pada suatu peti dalam posisi tertekuk dan diberikan ramuan
penghilang bau.
Dalam tradisi Sumba ada beberapa tahapan upacara yakni upacara
pencarian batu kubur, upacara tarik batu kubur, upacara pengangkatan batu kubur
dan pemahatan ornament. Upacara
pencarian batu kubur untuk mendapatkan dolmen. Semakin tinggi status si mati
maka diperlukan batu yang besar pula.
Masyarakat Sumba mengenal tiga bagian dunia,yakni dunia atas yang
ditempati oleh para dewa dan roh leluhur, duniatengah yang dihuni oleh manusia dan dunia bawah sebagai tempat hewan.
Struktur rumah adat Sumba berlandaskan dengan kepercayaan ini, yakni :
1) bagian atap rumah (uma deta) yang melambangkan dunia atas,
2) ruang dalam rumah (uma bei) sebagai
tempat kehidupan dan
3) kolong rumah (kali kambunga)
sebagai tempat hewan.

Gambar 1. Bagan perwujudan lapisan bumi pada rumah adat (uma)
Sumber: Jejak Megalitikum Arsitektur Tradisional Sumba
Uma adalah sebutan orang Sumba Barat untuk rumah. Uma
memiliki kemiripan dengan joglo, terutama bagian atap mereka. Hanya saja sudut
atap rumah orang Sumba lebih terjal dari pada atap joglo. Kemiripan lainnya,
sama-sama memiliki pengorganisasian ruagan yang terbagi Sembilan. Namun,
terdapat struktur sosial dan kekerabatan yang berbeda.
Membangun uma baru bearti mendirikan suatu garis keturunan
baru. Uma lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan. Karenanya mereka membangun
gubuk-gubuk dibelakang uma yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan sehari-hari. Bagi orang Sumba pusat uma adalah pusat kehidupan
sedangkan pusat desa adalah pusat semesta.
Van Wouden menggambarkan denah sebuah uma dalam wujud
bujursangkar. Pintu utama yang berhadapan dnegan pelataran hanya diperuntukkan
untuk kaum anggota pria, sedangkan kaum anggota wanita menggunakan pintu
samping. Para tamu biasanya berada di sisi uma yang berdinding rapat dan
dikelilingi oleh emperan. Lantai pada uma berada di atas panggung rendah. Di
sekitar pusat uma terdapat empat tiang utama yang berfungsi sebagai patokan
tiang-tiang lain membagi uma menjadi Sembilan bagian yang sama luasnya. Adapun
setiap bagian memiliki makna sosial dan seremonial (Van Wouden dalam Sejarah
Kebudayaan Indonesia : Arsitektur).

Gambar 2. Denah rumah adat Sumba
Sumber: Arsitektur Tradisional Sumba
Pola kampung adat berorientasi arah Utara- Selatan (Wora
Hebi, 2003), adapun Selatan sebagai arah utama. Orang Sumba menganggap pusat
uma adalah pusat kehidupan sedangkan pusat desa adalah pusat semesta. Desa
tersusun atas perletakan dataran marapu. Marapu adalah ruang bersemayam para
arwah. Biasanya di setiap rumah orang Sumba terdapat marapu yang berada di
sebuah ruang bersekat rendah dan berisi bale-bale. Ruangan ini merupakan jalan
keluar masuknya roh penghuni marapu.
Daftar
Pustaka
Poesponegoro MD, Notosusanto N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I.
Jakarta: Balai Pustaka
Winandari,
Maria Immaculata Ririk, Machdijar, Lili Kusumawati, Topan, Mohammad Ali,
Winardi, Bambang Lumaksono, Sofian, Imron. 2006. Arsitektur
Tradisional Sumba.
Jakarta. Universitas Trisakti
Winandari,
Maria Immaculata Ririk, Machdijar, Lili Kusumawati, Topan, Mohammad Ali,
Winardi, Bambang Lumaksono, Sofian, Imron. 2006. Jejak Megalitikum
Arsitektur
Tradisional Sumba. Jakarta. Universitas Trisakti.
Wora Hebi,
Frans (editor), 2003. Ringkiknya Sandel Harumnya Cendana. Jakarta. Pemda
Kab. Sumba Timur.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Wirjomartono, Bagoes dkk. 2009. Sejarah
Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
http://arsitektur-lalu.com/wp-content/uploads/2013/03/GENIUS-LOCI.pdf
0 komentar