I Known He Loves Me
oleh: HARDIANTI
oleh: HARDIANTI
“Aku mencintainya. Pun begitu dengannya. Namun, kenapa harus selalu
ada jeda penghalang cinta kami. Papa, pernahkah kau merasakan apa yang
dirasakan oleh putri kecilmu ini? Aku mencintainya tanpa alasan. Aku tak
perduli dengan semua kisah kelamnya itu. Papa, kumohon biarkan aku bahagia
bersamanya”.
Sedari tadi aku melamun di depan jendela kantorku. Ah, bukan
sekedar melamun, ini jauh lebih baik dibilang serapah atau mungkin sesal.
Rupanya kenangan lima tahun itu masih bercokol dalam memoriku. Seharusnya tak
ada yang perlu dikenang lagi. Semua telah jelas. Semua telah selesai. Namun,
sesak yang menyerupai sesal tiba-tiba datang menghantui hariku. Aku harus
bagaimana. Tak mungkin aku bisa memutar waktu kembali seperti yang ku mau.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Ku
teguk secangkir kopi hitam. Reflek, aku muntahkan.
“Uhkk, pahit!”. Segera ku seka mulutku. Lalu berteriak memanggil OB. Selang beberapa menit kemudian seorang laki-laki muda berpakaian seragam biru-biru muncul kehadapanku. Wajahnya terlihat tegang.
“Iya, Miss. Ada apa memanggil saya?” tanyanya pelan.
“Kopi apa ini? Pahit.” Bentakku.
“Denger ya, saya benci kopi pahit. Lain kali jangan terulang lagi!” tegasku.
“I..iya Miss. Maaf tadi saya lupa naruh gulanya!” jelasnya.
“Ya sudah. Sana kembali kerja!” Usirku.
“Uhkk, pahit!”. Segera ku seka mulutku. Lalu berteriak memanggil OB. Selang beberapa menit kemudian seorang laki-laki muda berpakaian seragam biru-biru muncul kehadapanku. Wajahnya terlihat tegang.
“Iya, Miss. Ada apa memanggil saya?” tanyanya pelan.
“Kopi apa ini? Pahit.” Bentakku.
“Denger ya, saya benci kopi pahit. Lain kali jangan terulang lagi!” tegasku.
“I..iya Miss. Maaf tadi saya lupa naruh gulanya!” jelasnya.
“Ya sudah. Sana kembali kerja!” Usirku.
Sepeninggal OB hatiku menjadi tak karuan. Pikiranku menerawang
kemana-mana. Kopi pahit itu jelas telah menuntunku menuju masa lalu. Ya, salah
satunya tentang secangkir kopi pahit hangat yang selalu kau minum menjelang
senja. Masih segar dalam ingatanku aroma
kopi yang kau teguk demi teguk. Ku pejamkan mataku. Menikmati aroma kopi yang
kau teguk.
*****
Sore ini langit terlihat mendung. Sementara angin bergerak kencang.
Ahh, sebentar lagi pasti hujan. Padahal rumahku
masih jauh. Dan aku pun tak membawa payung. Ku pergegas langkahku.
Tetapi karena aku membawa banyak buku, langkahku jadi terlihat payah. “Byurr….”
Dan hujan turun tanpa permisi. Aku yang kebingungan mengingat posisiku yang
berada di badan jalan. Tetiba kawanan genk motor menyerbu ke arahku. Spontan
aku mengelak. Buku-bukuku berhamburan di jalan. Kesal, aku berteriak ‘liar!”.
Dan kau tahu, kawanan genk motor itu membalikkan motornya lalu berhenti lima
meter dari hadapanku. Aku tak mengenali mereka. Kerena wajah mereka tertutup
helm. Salah satu kawanan genk motor itu membuka helmnya dan kemudian
melemparnya. Dia seorang lelaki. Tentu saja. Dan dia bergerak mendekatiku
dengan tatapan tajam. Ohh, Tuhan. Tolong aku!
Lelaki itu sekarang telah berada di hadapanku. Nafasku
tersengal-sengal. Lelaki itu menyentuh wajahku. Aku merasa sesak. Tatapannya
masih sama. Diturunkannya tangannya. Berjongkok mengambil buku-bukuku yang
berhamburan. Diserahkannya kepadaku. Aku menerimanya dengan menahan nafas. Lalu
berlari menjauh darinya.
Aku terus berlari tanpa henti. Sesampainya di rumah aku segera
menerobos masuk ke dalam kamarku. Nafasku masih sesak. Kenapa. Kenapa masih sesak. Padahal lelaki itu sudah tak
ada. Siapakah lelaki berjaket kulit itu? Aku merasa merindukannya. Rindu yang
asing.
********
Hari ini lagi-lagi aku pulang sore. Jadwal kuliah hari ini memang
lumayan padat. Ku peluk buku catatan kuliahku dan bergegas keluar kelas. Di
luar telah ada seseorang yang menungguku. Ya, lelaki itu lagi. Dia duduk dengan
santai di atas Kawasaki Ninja. Menatap tajam
ke arahku. Aku bergerak ragu. Kutundukkan kepalaku mencoba mempercepat
langkah. Dia menarik kencang tanganku. Membuat aku jatuh ke dalam
pelukannya. Aku hanya mematung.
Dibisikkan sesuatu ditelingaku: “namaku Milner”. Kemudian melepas
pelukannya. Memaksaku menatapnya.
“kau masih marah?” tanyanya pelan.
Aku menundukkan pandanganku dan berkata: “tidak, aku tidak marah lagi!”
Dia tersenyum. Memelukku kembali. Dan lagi-lagi aku merasa sesak.
“kau masih marah?” tanyanya pelan.
Aku menundukkan pandanganku dan berkata: “tidak, aku tidak marah lagi!”
Dia tersenyum. Memelukku kembali. Dan lagi-lagi aku merasa sesak.
Milner mengajakku makan
malam di sebuah resto. Dia segera memesan makanan. Aku hanya diam saja.
Tiba-tiba seorang pria muda yang sedang menelpon tak sengaja menabrakku. Pria
itu segera meminta maaf. Dan aku mengerti bahwa dia memang tak sengaja. Tetapi
lain dengan Milner. Dia berteriak, memukul dan menjatuhkan pria itu. Aku
spontan memeluk Milner dari belakang. Kalau tidak bisa saja pria itu dihabisi
oleh Milner. Milner membalikkan tubuhnya. Menatapku, menyentuh wajahku dan
meminta maaf. Aku menepis tangannya. Lalu pergi menjauh darinya.
***************
“Kringggggggg……….” Telpon di ruang kerjaku bordering. Berhasil
mengagetkanku.
“Ya, dengan Dr. Roshaniv Gista” aku meyebutkan namaku sebagai pembuka.
“Hello, Miss Roshaniv Gista. Ada pasien saya di RSJ yang mau bertemu dengan Miss. Kira-kira kapan Miss ada waktu?”
“Maaf, kalau boleh tahu siapa nama pasien anda?”
“Namanya Aaron Milner, Miss!”
“Ya, dengan Dr. Roshaniv Gista” aku meyebutkan namaku sebagai pembuka.
“Hello, Miss Roshaniv Gista. Ada pasien saya di RSJ yang mau bertemu dengan Miss. Kira-kira kapan Miss ada waktu?”
“Maaf, kalau boleh tahu siapa nama pasien anda?”
“Namanya Aaron Milner, Miss!”
Seketika tubuhku roboh ke lantai.
Air mata menetes di pipiku. Dalam hati aku berteriak.Tuhan. Inikah rencanamu?
Jika iya, kenapa harus saat ini? Aku masih belum siap. Aku takut. Tapi aku
merindukannya.
Aku segera bangun. Merapikan bajuku.
Menghapus air mataku. Dan segera menyetir mobil ke RSJ. Ku raba dadaku. Ada
sesak yang terasa. Sama seperti dulu.
***************
Tiga puluh menit kemudian aku
tiba di RSJ. Seorang perawat wanita dengan tergopoh-gopoh menghampiriku.
Panjang lebar dia bercerita mengenai Aaron
Milner. Aku hanya diam menahan sesak. Perawat wanita yang bernama Amel itu menunjuk sebuah kamar dengan tegang.
Lalu dia segera berlalu. Membuatku bingung saja. Kulihat kamar itu terkunci
dari luar. Aneh. Perlahan aku mendekati kamar itu, memutar kunci dan membuka
pintu yang berderit bising.
*************
Aku berlari sejauh mungkin dari kejaran Milner yang terus
meneriakkan namaku. Lalu pada persimpangan jalan aku berhenti. Nafasku
tersengal-sengal. Sekejap kemudian Milner telah memelukku dari belakang.
Tangannya menyentuh wajahku.
“Kau membuatku takut” kataku sambil melepaskan tangannya dari wajahku.
“lalu kenapa kau memperbolehkan aku memelukmu” dia bertanya tanpa melepas pelukannya.
Dengan pelan aku menjawab: “karena aku lebih takut kehilanganmu”
Milner membalikkan tubuhku. Kini aku bebas memandangnya. Ku tatap matanya. Aku baru sadar di balik mata birunya itu terdapat cinta yang mendalam. Hanya untukku seorang.
“tapi aku tak mengenalmu!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“aku tak perduli itu. Yang aku tahu adalah aku mencintaimu sejak pertama bertemu!” tegasnya. Kemudian dia tersenyum dan memelukku erat. Aku kembali merasa sesak.
“Kau membuatku takut” kataku sambil melepaskan tangannya dari wajahku.
“lalu kenapa kau memperbolehkan aku memelukmu” dia bertanya tanpa melepas pelukannya.
Dengan pelan aku menjawab: “karena aku lebih takut kehilanganmu”
Milner membalikkan tubuhku. Kini aku bebas memandangnya. Ku tatap matanya. Aku baru sadar di balik mata birunya itu terdapat cinta yang mendalam. Hanya untukku seorang.
“tapi aku tak mengenalmu!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“aku tak perduli itu. Yang aku tahu adalah aku mencintaimu sejak pertama bertemu!” tegasnya. Kemudian dia tersenyum dan memelukku erat. Aku kembali merasa sesak.
***********
Sudah satu bulan, aku dan Milner menjalani hubungan rahasia ini.
Papa masih belum tahu. Tapi hari ini aku berencana memperkenalkan Milner kepada
papa. Ketika aku mendatangi kantor papa seorang pria muda yang sangat aku kenal
tiba-tiba telah berada di hadapanku. Aku ingat kami sudah dua tahun tidak
bertemu. Dia terlihat begitu dewasa dan sangat
tampan.
“Gistaa, how are you baby?” dia tersenyum hangat dan mulai bergombal. Aku membalasnya dengan sebuah pelukan. Ahh, aku begitu merindukan pria ini.
“Benji, kamu kapan pulang?” aku bertanya dengan wajah kubuat sejelek mungkin sambil melepas pelukan.
“Aku ke London untuk libur semester, baby!” jelasnya.
“huhh, Bukan mau ketemu aku?” aku pura-pura merajuk. Benji yang merupakan mahasiswa jurusan hukum di Harvard hanya tertawa melihat tingkahku. Ahh, Benji. Kebersamaan kita masihlah sama.
“Gistaa, how are you baby?” dia tersenyum hangat dan mulai bergombal. Aku membalasnya dengan sebuah pelukan. Ahh, aku begitu merindukan pria ini.
“Benji, kamu kapan pulang?” aku bertanya dengan wajah kubuat sejelek mungkin sambil melepas pelukan.
“Aku ke London untuk libur semester, baby!” jelasnya.
“huhh, Bukan mau ketemu aku?” aku pura-pura merajuk. Benji yang merupakan mahasiswa jurusan hukum di Harvard hanya tertawa melihat tingkahku. Ahh, Benji. Kebersamaan kita masihlah sama.
Tiba-tiba dari arah kananku terdengar sebuah teriakan yang
meneriakkan namaku. Astaga itu Milner. Ada apa dengannya. Milner berlari ke
arah aku dan Benji. Wajahnya terlihat mengerikan. Dan sekarang dia tengah
meraih kemeja Benji. Benji terlihat bingung. Aku tak kalah panik.
“Jangan pernah kau sentuh milikku!” Milner berteriak sambil menghujamkan satu pukulan ke pipi Benji. Lalu dengan satu gerakan cepat dia menarikku keluar kantor. Aku meronta-ronta minta dilepaskan. Tapi dia menggenggamku dengan sangat kencang. Tanganku terasa sakit.
“Jangan pernah kau sentuh milikku!” Milner berteriak sambil menghujamkan satu pukulan ke pipi Benji. Lalu dengan satu gerakan cepat dia menarikku keluar kantor. Aku meronta-ronta minta dilepaskan. Tapi dia menggenggamku dengan sangat kencang. Tanganku terasa sakit.
Milner menyuruhku naik ke atas motornya. Memaksaku memeluknya
sementara dia membonceng motor dengan ngebut. Aku memeluk nya erat. Air mataku
tumpah. Sementara Milner terus memacu motornya tanpa aku tahu kemana. Aku mengira-ngira sudah lebih dari satu jam
dia membawaku. Dan aku juga yakin, ini telah jauh dari rumahku yang berada di
kota London. Aku terus memeluknya tanpa berani melepasnya. Mungkin aku terlalu
takut.
Pada sebuah perkampungan yang aku tak mengenal namanya, Milner memperlambat
laju motornya. Di sekitarku terlihat rumah-rumah sederhana dan para anak-anak
kampong yang berebutan bola. Mereka semua berkulit yang sama yakni kecoklatan.
Dan mereka juga punya rambut yang sama pula yakni hitam. Terlihat pula para
ibu-ibu muda yang menriakkan nama anak-anaknya untuk segera pulang. Mungkin
karena sebentar lagi senja dan gelap akan datang.
Bunyi derit motor yang dipaksa berhenti terdengar. Milner telah
menghentikan laju motornya. Aku bergerak turun. Di depanku terlihat sebuah
rumah megah bak istana para dewa. Tanpa sadar aku berdecak kagum. Milner
menarikku tepat di sampingnya hampir menyerupai pelukan.
“Ini rumahku. Rumah kita. Dan kita akan tinggal di sini. Selamanya” jelasnya sambil membelai rambutku.
Aku hanya diam saja. Pikiranku berkecamuk. Tiba-tiba Milner menggendongku dan berjalan masuk ke dalam rumah istana dewa itu. Aku menggelayutkan tanganku pada lehernya. Dia tersenyum.
“Ini rumahku. Rumah kita. Dan kita akan tinggal di sini. Selamanya” jelasnya sambil membelai rambutku.
Aku hanya diam saja. Pikiranku berkecamuk. Tiba-tiba Milner menggendongku dan berjalan masuk ke dalam rumah istana dewa itu. Aku menggelayutkan tanganku pada lehernya. Dia tersenyum.
Dua orang lelaki paruh baya membukakan pintu untuk kami dan
membiarkan kami masuk. Aku melongo memandang isi rumah itu. Ku lihat sebuah
lukisan karya maestro terkenal dan juga beberapa perabotan antic nan mahal diatur
dengan serasinya. Milner belum melepaskan gendongannya. Sampai sebuah suara
mengagetkanku.
“Anakku. Akhirnya kau kembali kepadaku!” suara itu ternyata adalah seorang wanita paruh baya. Dia terlihat anggun dan menggunakan gaun yang membuat penampilannya semakin elegan. Melihat itu Milner segera menurunkanku dengan sangat hati-hati. Wanita paruh baya itu telah berada di hadapan aku dan Milner. Dia memeluk Milner dan Milner membalas pelukannya. Sejurus kemudian mereka melepaskan pelukan. Lalu menatapku bersamaan. Membuatku risih.
“Ma, ini adalah Gista. Dia milikku!” Milner menarikku kepelukannya. Wanita paru baya yang dipanggil mama oleh Milner itu tersenyum dan memelukku. Aku merasakan kerinduan dan kepedihan seorang ibu.
“Anakku. Akhirnya kau kembali kepadaku!” suara itu ternyata adalah seorang wanita paruh baya. Dia terlihat anggun dan menggunakan gaun yang membuat penampilannya semakin elegan. Melihat itu Milner segera menurunkanku dengan sangat hati-hati. Wanita paruh baya itu telah berada di hadapan aku dan Milner. Dia memeluk Milner dan Milner membalas pelukannya. Sejurus kemudian mereka melepaskan pelukan. Lalu menatapku bersamaan. Membuatku risih.
“Ma, ini adalah Gista. Dia milikku!” Milner menarikku kepelukannya. Wanita paru baya yang dipanggil mama oleh Milner itu tersenyum dan memelukku. Aku merasakan kerinduan dan kepedihan seorang ibu.
**************
Tiga hari sudah aku berada di istana Milner. Aku harus segera
pulang. Setidaknya memberitahukan keberadaanku kepda Papa dan sahabatku, Benji.
Aku yakin mereka pasti sangat cemas. Aku beranjak dari ranjangku menuju meja
telpon karena aku tak membawa hpku. Ku putar beberapa digit angka yang sangat
aku hafal. Di seberang sana ku dengar sebuah suara yang membuatku merasa sesal.
“hello, siapa ini?” Papa menjawab dengan panik. Aku ingin menjawab. Tapi yang terdengar hanya nada tut tut tut. Telpon ini telah terputus.
“hello, siapa ini?” Papa menjawab dengan panik. Aku ingin menjawab. Tapi yang terdengar hanya nada tut tut tut. Telpon ini telah terputus.
Aku menoleh kebelakang. Terlihat Milner menatapku tanpa ekspresi.
Di tangannya tergenggam kabel telpon. Aku memalingkan wajahku. Dan sekejap saja
dia telah memeluku dari belakang. Tangannya menyentuh wajahku. Nafasnya memburu
terdengar jelas di telingaku. Wajar saja bibirnya berada tepat di belakang
telingaku. Tangannya mulai mengelus wajahku. Aku merasakan panas yang mengalir
lewat jemari tangannya. Membuatku tersengal-sengal. Nafasnya juga turut hangat.
Perlahan bibirnya membisikkan sesuatu di telingaku. Mendadak aku merasa demam.
“Kamu itu milikku!”
Ku pejamkan mataku dan berkata: “Tapi dia Papaku. Dia berhak tahu!”
Milner melepas pelukannya. Memutar tubuhku. Kini aku telah menatap matanya. Aku mencari-cari kebohongan di dalam matanya. Sayangnya tak aku temukan. Dia sangat serius dengan kata-katanya.
“Besok, kita akan menikah!” dia berucap. Seakan-akan meyakinkan aku. Kemudian dengan lembut dia mencium keningku. Lalu berbalik meninggalkanku. Ada kehilangan yang ku rasa. Bukan lagi sekedar sesak.
“Kamu itu milikku!”
Ku pejamkan mataku dan berkata: “Tapi dia Papaku. Dia berhak tahu!”
Milner melepas pelukannya. Memutar tubuhku. Kini aku telah menatap matanya. Aku mencari-cari kebohongan di dalam matanya. Sayangnya tak aku temukan. Dia sangat serius dengan kata-katanya.
“Besok, kita akan menikah!” dia berucap. Seakan-akan meyakinkan aku. Kemudian dengan lembut dia mencium keningku. Lalu berbalik meninggalkanku. Ada kehilangan yang ku rasa. Bukan lagi sekedar sesak.
**************
Di sini di depan cermin ini aku berdiri menatap mata gadis yang
terpantul di hadapanku. Tak ada bahagia terlihat. Tapi tepat di sana ada cinta
yang terus bertumbuh. Diam-diam gadis itu menetekan air matanya. Dan aku merasa
teriris.
Seorang wanita paruh baya datang ke hadapanku untuk merapikan gaun
pengantin yang kukenakan. Tapi ku pikir dia datang bukan hanya untuk itu saja.
“ gista, sebelum kamu melangkah. Ada sesuatu yang ingin Mama ceritakan. Kau harus tahu ini.”
Aku hanya diam. Mencoba menyimak.
“Sewaktu Milner berusia 18 tahun dia telah menjadi seorang buronan polisi.”
Wanita paruh baya itu bercerita sambil menahan perih. Aku sendiri berusaha untuk terlihat biasa saja.
“Dia telah membunuh Papanya”
Wanita paruh baya itu mencengkeram tanganku. Dan mengguncang tubuhku.
“Dia adalah seorang psikopat. Anakku telah gila”
“Dia mencintaimu. Kau adalah satu-satunya gadis yang dicintainya. Kau akan selalu berada dalam pandangannya.”
Kata-kata yang terlontar itu begitu pedih. Sampai aku bingung siapa yang mengucapkannya. Apakah dari seorang wanita yan telah kehilangan cintanya, ataukah kata-kata yang di ucapkan dengan pedih oleh seorang istri yang ditinggal mati suaminya atau mungkin itu adalah perkataan dari seorang ibu yang tak mengenal anaknya lagi.
“ gista, sebelum kamu melangkah. Ada sesuatu yang ingin Mama ceritakan. Kau harus tahu ini.”
Aku hanya diam. Mencoba menyimak.
“Sewaktu Milner berusia 18 tahun dia telah menjadi seorang buronan polisi.”
Wanita paruh baya itu bercerita sambil menahan perih. Aku sendiri berusaha untuk terlihat biasa saja.
“Dia telah membunuh Papanya”
Wanita paruh baya itu mencengkeram tanganku. Dan mengguncang tubuhku.
“Dia adalah seorang psikopat. Anakku telah gila”
“Dia mencintaimu. Kau adalah satu-satunya gadis yang dicintainya. Kau akan selalu berada dalam pandangannya.”
Kata-kata yang terlontar itu begitu pedih. Sampai aku bingung siapa yang mengucapkannya. Apakah dari seorang wanita yan telah kehilangan cintanya, ataukah kata-kata yang di ucapkan dengan pedih oleh seorang istri yang ditinggal mati suaminya atau mungkin itu adalah perkataan dari seorang ibu yang tak mengenal anaknya lagi.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku seperti asing dengan
diriku sendiri. Aku hanya tahu tentang cintaku yang terus bertumbuh. Kau datang
dengan tiba-tiba dan aku tak berharap kau pergi dengan tiba-tiba juga. Ya, aku
harus tetap menikah. Bukankah cinta adalah saling menerima kekurangan pasangan
kita. Cintamu yang berlebih itu telah terpatri dalam ingatanku.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan wanita paruh baya
itu. Aku ingin cepat-cepat rebah dalam pelukan kekasihku. Ku angkat sebagian
bawahan baju pengantinku yang mengganggu
gerakku. Dengan lincah aku menuruni anak-anak tangga menuju halaman belakang.
Sepanjang perjalanan aku berteriak memanggil nama kekasihku. Milner.
Sesampainya di halaman belakang. Aku mendapati kekasihku sedang
bergulat dengan seorang pria berkemeja biru. Siapa dia? Ya Tuhan, itu Benji.
Dan di seberang sana ada Papa. Aku mendekati Papa dan memeluknya. Papa menangis
haru. Sementara itu Milner dan Benji masih saja bergulat. Aku dan Papa berusaha
melerai. Aku menangkap Milner dan memeluknya. Sedang Papa meraih Benji. Benji
berteriak histeris.
“Hey, pembunuh. Kamu tak pantas bersama Gista!”
Milner yang tengah berada dalam pelukanku, melepas pelukan untuk mengambil pisau lipat yang berada dalam sakunya. Aku berusaha menggapai tangan Milner yang bergerak lincah. Papa yang melihatku kepayahan berjalan ke arahku dan memaksaku pulang. Aku meronta-ronta berharap Papa melepaskanku. Namun, Papa malah berteriak memaki Milner.
“Dia anakku. Aku berhak membawanya pergi!”
“Hey, pembunuh. Kamu tak pantas bersama Gista!”
Milner yang tengah berada dalam pelukanku, melepas pelukan untuk mengambil pisau lipat yang berada dalam sakunya. Aku berusaha menggapai tangan Milner yang bergerak lincah. Papa yang melihatku kepayahan berjalan ke arahku dan memaksaku pulang. Aku meronta-ronta berharap Papa melepaskanku. Namun, Papa malah berteriak memaki Milner.
“Dia anakku. Aku berhak membawanya pergi!”
Mendengar
itu Milner yang tadinya bergerak mendekati Benji menghentikan langkahnya.
Berbalik kea rah Papa. Milner menghujamkan pisaunya tepat ke badan Papa. Dan
sebelum itu terjadi aku telah mendapati diriku berada dalam pelukan Milner. Aku
tersenyum bahagia. Tapi Milner malah menangis dan berteriak histeris. Aku ingin mengahapus air matanya. Tapi
tanganku tak mampu. Aku merasa sesak datang lagi. Tapi kali ini sesak membawa
teman bernama gigil.
***************
Kamar ini begitu gelap dan pengap. Seperti
tak ada yang mendiami. Dan memdadak sesak kembali menyerangku. aku mencoba
menepis sesak yang kurasa dan mencoba melangkah semakin dalam. Tanganku
meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Aku menemukan dan segera menyalakan
lampu. Terdengar sebuah teriakan pilu. Seorang pria muda duduk sambil menutup
wajahnya. Dia terlihat sangat ketakukan. Mungkinkah itu kau, Milner.
Aku mendekati pria itu dan dia
bergerak menjauh. Aku berjongkok di hadapannya. Dan menyebutkan namaku. Dia
membuka tangannya dari wajahnya. Memandangku. Dia terdiam sebentar seakan tak
percaya. Seketika dia memelukku. Ada sesak berbalut rindu menerjangku kali ini.
“Gista, kamu masih hidup?” dia melepas pelukannya dan mencium seluruh wajahku dengan tergesa-gesa seakan-akan takut kehilanganku. Aku tersenyum dan mengelus wajahnya. Wajahnya begitu kotor. Rambutnya juga tak karuan bentuknya. Begitupula dengan pakaiannya.
“Gista, kamu masih hidup?” dia melepas pelukannya dan mencium seluruh wajahku dengan tergesa-gesa seakan-akan takut kehilanganku. Aku tersenyum dan mengelus wajahnya. Wajahnya begitu kotor. Rambutnya juga tak karuan bentuknya. Begitupula dengan pakaiannya.
Aku mengajaknya keluar kamar.
Sepanjang jalan dia terus memelukku. Mengingatkanku akan sesak yang pertama
kali datang. Aku tersenyum mengingatnya. Kami berhenti di sebuah taman. Dia
tiduran di pangkuanku. Aku mengelus rambutnya. Dia tak bergerak . Tapi mulutnya
tak berhenti bercerita. Dia bercerita tentang kejadian lima tahun yang lalu. Saat-saat
Papa mengatakan kepadanya bahwa aku telah mati. Dan bagaimana hancurnya
perasaanya saat itu terlebih pengadilan memasukkannya ke dalam RSJ. Karena
dianggap gila.
Milner hancur karena mengira aku
telah pergi. Dan aku kesepian karena
merindukannya. Tetapi sekarang tak akan ada lagi yang akan memisahkan kami.
Tuhan, restuilah kami.